Hi. . .Assalamualaikum Wr.Wb

milkysmile
WELCOME ! Suatu kehormatan bagi saya atas kunjungannya dan jangan lupa mampir lagi di www.duniamegumi.blogspot.com yaa^^ !

YANG DATENG

Selasa, 05 April 2011

Keluarga Semut


Huh ... lelahnya aku,...seharian menyelesaikan
pekerjaan kantor yang tak habis-habisnya.
Kurebahkan tubuhku di lantai depan televisi, sementara
kubiarkan TV menyala untuk tetap menjaga agar aku
tidak terlelap. Suhu yang sedikit panas memaksaku
membuka kemeja dan membiarkan kulitku bersentuhan
dengan sejuknya lantai.

"aaauww ... brengsek!" gumamku
Segera kutepis sesuatu yang menggigit lenganku hingga
ia terjatuh di lantai, ternyata seekor semut hitam.

"Kurang ajar! Apa ia tidak mengerti kepalaku begitu
penat dan tubuhku ini seperti mau hancur? Apa ia juga
tidak tahu kalau aku sedang beristirahat?" pikirku
seraya kembali merebahkan tubuhku.

Tapi, belum sampai seluruh tubuh ini jatuh menempel
lantai, "addduuhhh!" Lagi-lagi semut kecil itu
menggigitku. Kali ini punggungku yang digigitnya dan
gigitannya pun lebih sakit. "heeeh, berani sekali
makhluk kecil ini," gerutuku kesal.

Ingin rasanya kulayangkan tapak tangan ini untuk
membuatnya mati tak berkutik 'mejret' di lantai. Namun
sebelum tanganku melayang, ia justru sudah
mengacung-acungkan kepalan tangannya seperti
menantangku bertinju. Kuturunkan kembali tanganku yang
sudah berancang-ancang dengan jurus 'tepokan maut',
kuurungkan niatku untuk menghajarnya karena kulihat
mulutnya yang komat-kamit seolah mengatakan sesuatu
kepadaku. Awalnya aku tidak mengerti apa yang
diucapkannya, tapi lama kelamaan aku seperti memahami
apa yang diucapkannya.

"Hey makhluk besar, anda menghalangi jalan saya! Apa
anda tidak lihat saya sedang membawa makanan ini untuk
keluarga saya di rumah ..." Rupanya ia begitu marah
karena aku menghambat perjalanannya, lebih-lebih
sewaktu punggungku menindihnya sehingga ia harus
terpaksa menggigitku.

Akhirnya kupersilahkan ia melanjutkan perjalanannya
setelah sebelumnya aku meminta maaf kepadanya. Susah
payah ia membawa sisa-sisa roti bekas sarapanku pagi
tadi yang belum sempat kubersihkan dari meja makan.
Kadang oleng ke kanan kadang ke kiri, sesekali ia
berhenti meletakkan barang bawaannya sekedar
mengumpulkan tenaganya sembari membasuh peluhnya yang
mulai membasahi tubuh hitamnya.

Kuikuti terus kemana ia pergi. Ingin tahu aku di pojok
mana ia tinggal dari bagian rumahku ini. Ingin
kutawarkan bantuan untuk membantunya membawakan
makanan itu ke rumahnya, tapi aku yakin ia pasti
menolaknya. Berhentilah ia di sebuah sudut di samping
lemari es sebelah dapur. Di depan sebuah lubang kecil
yang menganga, ia letakkan bawaannya itu dan kulihat
seolah ia sedang memanggil-manggil semut-semut di
dalam lubang itu. Satu, dua, tiga .... empat dan ....
lima semut-semut yang tubuhnya lebih kecil dari semut
yang membawa makanan itu berlarian keluar rumah
menyambut dengan sukaria makanan yang dibawa semut
pertama itu. Dan, eh ... satu lagi semut yang besarnya
sama dengan pembawa roti keluar dari lubang. Dengan
senyumnya yang manis ia mendekati si pembawa roti,
menciumnya, memeluknya dan membasuh keringat yang
sudah membasahi seluruh tubuh semut pembawa makanan
itu.

Hmmm ... menurutku, si pembawa roti itu adalah kepala
keluarga dari semut-semut yang berada di dalam lubang
tersebut. Kelima semut-semut yang lebih kecil adalah
anak-anaknya sementara satu semut lagi adalah istri di
pembawa roti, itu terlihat dari perutnya yang agak
buncit. "Mungkin ia sedang mengandung anak ke enamnya"
pikirku.

Semut suami yang sabar, ikhlas berjuang, gigih mencari
nafkah dan penuh kasih sayang. Semut istri tawadhu'
dan qonaah menerima apa adanya dengan penuh senyum
setiap rizki yang dibawa oleh sang suami, juga ibu
yang selalu memberikan pengertian dan mengajarkan
anak-anak mereka dalam mensyukuri nikmat Tuhannya.
Dan, anak-anak semut itu, subhanallah ... mereka
begitu pandai berterima kasih dan menghargai pemberian
ayah mereka meski sedikit. Sungguh suami yang
dibanggakan, sungguh istri yang membanggakan dan
sungguh anak-anak yang membuat ayah ibunya bangga.

Astaghfirullah ..., tiba-tiba tubuhku menggigil, lemas
seperti tiada daya dan brukkk .... aku tersungkur.
Kuciumi jalan-jalan yang pernah dilalui semut-semut
itu hingga menetes beberapa titik air mataku. Teringat
semua di mataku ribuan wajah semut-semut yang pernah
aku hajar 'mejret' hingga mati berkalang lantai ketika
mereka mencuri makananku. Padahal, mereka hanya
mengambil sisa-sisa makanan, padahal yang mereka ambil
juga merupakan hak mereka atas rizki yang aku terima.

Air mataku makin deras mengalir membasahi pipi,
semakin terbayang tangisan-tangisan anak-anak dan
istri semut-semut itu yang tengah menanti ayah dan
suami mereka, namun yang mereka dapatkan bukan makanan
melainkan justru seonggok jenazah.

Ya, Allah ... keluarga semut itu telah mengajarkan
kepadaku tentang perjuangan hidup, tentang kesabaran,
tentang harga diri yang harus dipertahankan ketika
terusik, tentang bagaimana mencintai keluarga dan
dicintai mereka. Mereka ajari aku caranya mensyukuri
nikmat Tuhan, tentang bagaimana perlunya ikhlas,
sabar, tawadhu' dan qonaah dalam hidup.

Hari-hari selanjutnya, ketika hendak merebahkan tubuh
di lantai di bagian manapun rumahku aku selalu
memperhatikan apakah aku menghambat dan menghalangi
langkah atau jalan makhluk lainnya untuk mendapatkan
rizki. Ingin rasanya aku hantarkan sepotong makanan
setiap tiga kali sehari ke lubang-lubang tempat
tinggal semut-semut itu. Tapi kupikir, lebih baik aku
memberinya jalan atau bahkan mempermudahnya agar ia
dapat memperoleh dengan keringatnya sendiri rizki
tersebut, karena itu jauh lebih baik bagi mereka.

 

0 komentar:

Posting Komentar